Blog of Marsela Giovani

Here This,Simple But Meaningful..

Hukum Perdata

Pernahkah anda merasa dirugikan di saat diharuskan membayar tarif parkir yang tidak sesuai dengan ketentuan sah yang berlaku? berikut ini adalah salah satu hasil kajian saya bersama kelompok mengenai sebuah kasus yang berkaitan dengan penerapan tarif parkir secara sepihak. Di dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana kekuatan hukum perdata berkaitan dengan masalah tersebut.






KENAIKAN TARIF PARKIR SECARA SEPIHAK
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM

(Studi Kasus: Perseteruan antara David M.L.Tobing,S.H., M.Kn. Dengan
Pihak PT Securindo Packatama Indonesia)





BAB I
PENDAHULUAN




1.1 Latar belakang

Setiap orang pasti pernah berhubungan dengan hukum. Hal itu dimulai saat seseorang yang baru saja lahir, dimana dirinya sudah harus berhadapan dengan hukum. Sebagai contohnya adalah adanya kewajiban pembuatan akte kelahiran menunjukkan adanya keterikatan setiap orang terhadap hukum yang berlaku di suatu negara sejak ia dilahirkan. Setiap individu dapat berhubungan dengan hukum baik secara sadar maupun tidak. Pada dasarnya, di Indonesia terdapat berbagai macam hukum, dan diantaranya adalah hukum perdata berisikan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan.

Melalui penulisan makalah ini, penulis akan mengangkat salah satu contoh kasus perdata yang terjadi di masyarakat, yaitu kasus penerapan kenaikan tarif parkir secara sepihak yang terjadi di sebuah pusat perbelanjaan atau yang biasanya kerap disebut sebagai mall. Keberadaan tempat parkir itu sendiri sangat membantu pihak masyarakat khususnya bagi mereka yang memiliki kendaraan dan hal ini juga yang membuat lahan parkir dapat dijadikan sarana bisnis yang menjanjikan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan di kota-kota besar, bisnis parkir ini menjadi lahan bisnis yang dipersaingkan baik secara sehat maupun tidak sehat (monopoli) diantara pengelola parkir.

Kasus yang diangkat penulis dalam makalah ini adalah adanya perseturuan yang terjadi antara David M. L. Tobing, S.H., M.Kn., dengan pihak PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku pengelola parkir. Kejadian tersebut berawal saat David M Tobing yang merasa dirugikan oleh pihak secure parking yang menerapkan tarif parkir tidak seperti biasanya. Tarif parkir yang dikenakan saat itu dianggap mengalami kenaikan secara sepihak, yang awalnya Rp. 1.000/ jam menjadi Rp. 1.500/jam. Saat itu, David dikenakan tarif parkir sebesar Rp. 3.000, selama 1 jam dan 31 menit. Kejadian tersebut terjadi di Plaza Senayan yang beralamat di Jl. Asia Afrika, Jakarta Selatan, pada hari Senin tanggal 16 Juni 2003 pada pukul 20:12 WIB dengan kejadian pada mobil kijang berwarna hitam dengan nomor polisi B 7331 NW. Dalam hal ini, David merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak secure parking karena dia harus membayar tarif parkir yang telah ditentukan oleh secure parking mall tersebut dimana harga parkir ini tidak sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI No.1698 tahun 1999 tentang Biaya Parkir Pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Untuk Umum Di Luar Badan Jalan Di Wilayah DKI Jakarta tanggal 1 Juni 1999 bahwa “Hotel dan pusat perbelanjaan tarif parkir ditetapkan Rp. 1.000 untuk jam pertama dan tambahan Rp. 1.000 untuk tiap jam berikutnya. Oleh karena itu, David merasa dirugikan atas penerapan tarif parkir yang dianggap tidak sesuai tersebut.

Namun pihak pengelola parkir menolak keberatan David, dengan sanggahan bahwa kenaikan tarif parkir yang dilakukan sesuai dengan Minutes of Meeting Forum Komunikasi Penyelenggara Perparkiran Swasta (FKPPS) tertanggal 28 Mei 2003 dan perihal kenaikan tarif telah ditulis di papan pengumuman depan di saat pengambilan karcis parkir, dan pemilik kendaraan dianggap telah mengetahui mengenai keberadaan pengumuman tersebut. Kemudian gugatan perdata pun diajukan oleh David ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Juli 2003 dengan nomor register No.283/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. untuk membela haknya dan mendapatkan keadilan.

Berdasarkan kasus mengenai kenaikan tarif parkir yang dianggap secara sepihak yang dilakukan oeh PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku pengelola parkir, maka penulis merasa tertarik untuk membahas dan menganalisis mengenai kasus tersebut. Penulis merasa ingin tahu mengenai letak keadilan yang sesungguhnya mengenai penerapan tarif parkir secara sepihak ini jika ditinjau dari perbuatan melawan hukum.


1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan perincian latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah ;

Apakah perbuatan yang dilakukan oleh PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku pengelola parkir merupakan perbuatan melawan hukum?


1.3 Tujuan penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan oleh PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku pengelola parkir merupakan perbuatan melawan hukum.

2. Untuk mengetahui dasar hukum yang ada berlaku dalam kasus mengenai kenaikan tarif parkir secara sepihak ini?

1.4 Manfaat penulisan

Manfaat penulisan dari makalah ini terbagi atas dua, yaitu:

1.4.1 Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah dapat menambah pengetahuan dan kajian teori dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perdata, khususnya mengenai perihal perbuatan melanggar hukum. Selain itu, dengan makalah ini juga bermanfaat untuk mengetahui dasar hukum mengenai aturan penerapan tarif parkir di tempat umum.

1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah agar penulis dapat mengetahui dasar penerapan tarif parkir yang sesungguhnya sesuai dengan peraturan daerah setempat sehingga praktek keadilan mengenai penerapan tarif parkir bagi pemilik kendaraan bermotor dapat terlindungi sebagai mestinya.


1.5 Sistematika penulisan

Sistematika penulisan yang dalam laporan ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang masalah mengenai alasan di pilihnya judul KENAIKAN TARIF PARKIR SECARA SEPIHAK
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus: Perseteruan antara David M.L.Tobing,S.H., M.Kn. Dengan Pihak PT Securindo Packatama Indonesia), perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORITIS
Bab ini membahas tentang teori – teori yang di gunakan, yang mendukung serta berkaitan dengan permasalahan yang akan dianalisis, seperti teori-teori hukum perdata yang relevan terhadap masalah yang akan dianalisis, tinjauan mengenai perbuatan melawan hukum.

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan di uraikan mengenai hasil analisis yang mencakup gambaran umum tentang objek yang dianalis, serta hasil pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab terkahir ini merupakan hasil analisa dari penulis mengenai kasus yang dipilih, yang dimana dipaparkan secara singkat dan penyampaian saran berkaitan masalah yang telah dianalisis tersebut.





BAB II
KERANGKA TEORITIS



2.1 Teori Umum Hukum Perdata

2.1.1 Pengertian Hukum perdata


Berdasarkan buku Study Guide Indonesian Legal System, hukum perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. (Tomasouw, 2005:15).

Berdasarkan Salim HS (Tutik, 2008:29) hukum perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lain dalam hubungan kekeluargaan dan didalam pergaulan kemasyarakatan.



2.1.2 Pembagian Hukum Perdata


Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok) Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat B. W.).

KUHS itu terdiri atas 4 buku, yaitu :


1. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan.

2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris.

3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintenissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa (Van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum. (Tomasouw, 2005:15).




2.1.3 Hukum Perikatan

Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. (Kartini, 2006:1)

Manusia selalu bekerja sama dalam mencapai kebutuhannya, oleh karena itu mereka saling bekerja sama. Adanya saling mengikatkan diri untuk memenuhi suatu prestasi sehingga timbullah hukum perikatan, yaitu suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut debitur, pihak yang berhak atas pemenuhan suatu perikatan disebut kreditur. (Tomasouw, 2005: 30-31).

Hukum Perikatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan. (Djamali, 2006:162)


2.1.3.1 Unsur-Unsur Perikatan

Dalam suatu perikatan terdapat beberapa unsure, yaitu .(Mariam Darus, 2001:1-7) :

1. Hubungan Hukum
Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya hukum melekatakan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila 1 (satu) pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau pun dipulihkan kembali.

Pada dasarnya, tidak semua hubungan hukum dapat disebutkan perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama pergi ke pusat hiburan, tidak melahirkan perikatan, sebab janji tadi tidak mempunyai arti hukum. Janji demikian masuk dalam lapangan moral dimana tidak dipenuhinya prestasi akan menimbulkan “reaksi” dari dan oleh anggota-anggota masyarakat lainnya. Jadi, pelaksaannya bersifat otonom dan sosiologis. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, hukum mempunyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu.

2. Kekayaan
Dahulu, suatu hubungan hukum dikatakan sebagai perikatan apabila hubungan hukum tersebut dapat dinilai dengan uang. Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun jika terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan terpenuhi. Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum itu sendiri yaitu mencapai keadilan.

Oleh karena itu, sekarang kriteria tesebut tidak lagi dipertahankan. Maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.


3. Pihak-pihak
Hubungan hukum harus terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 (satu) orang kreditur dan sekurang-kurangnya 1 (satu) debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan terdapat beberapa orang debitur.


4. Prestasi (Objek Hukum)
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, menurut pasal tersebut, prestasi dapat dibedakan atas:

a. memberikan sesuatu,
b. berbuat sesuatu,
c. tidak berbuat sesuatu


2.1.3.2 Objek Perikatan


Yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan. Macam-macam prestasi adalah sebagai berikut (Tomasouw, 2005:31) :

1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang, dsb.
2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, kesemuanya karena keputusan pengadilan dsb
3. Tidak berbuat sesuatu misalnya untuk tidak mendirikan suatu bangunan, untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu, kesemua karena ditetapkan oleh keputusan pengadilan.

2.1.3.2 Hapusnya Perikatan

Mengenai hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata dengan cara-cara sebagai berikut (Suryodiningrat,1985:123) :

1. Pembayaran
Pembayaran dalam hukum perikatan tidak ditafsirkan sebagai pembayaran sejumlah uang, sebagaimana yang dikenal dalam percakapan sehari-hari. Pembayaran diartikan sebagai setiap tindakan yang melaksanakan prestasi dalam suatu perikatan.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan atau penitipan
Pembayaran tunai yang diberikan oleh debitur,namun tidak diterima oleh kreditur tetapi kemudia debitur disimpan di pengadilan.

3. Pembaharuan hutang
Hutang yang lama digantikan dengan hutang yang baru.

4. Saling memperhitungkan utang atau kompensasi

5. Percampuran utang
Apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada pada satu tangan seperti pada warisan, perkawinan dengan harta gabungan.

6. Pembebasan utang
Apabila kreditur membebaskan segala hutang-hutang dan kewajiban kreditur.

7. Musnahnya barang terutang

8. kebatalan atau pembatalan

9. berlakunya suatu syarat batal

10.Kadaluwarsa.


2.1.3.3 Sumber Hukum Perikatan

Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang (Mariam Darus, 2001:7).

Berdasarkan (Tomasouw,2005:33) sumber hukum perikatan ada 2, yaitu :

1. Hukum perikatan yang bersumber pada perjanjian (kontrak)

Perjanjian (kontrak) adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa orang sehingga muncul persetujuan-persetujuan sesuai kehendak. Dari persetujuan tersebut timbul akibat-akibat hukum yang mengikat kedua belah pihak.

Jenis-jenis perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Perjanjian jual beli
Jual beli adalah suatu persetujuan antara 2 pihak, dimana pihak satu berjanji akan menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain membayar harga yang telah disetujuinya.

b. Perjanjian tukar menukar
Hampir sama dengan perjanjian jual beli hanya saja pada tukar menukar, kedua belah pihak berkewajiban untuk menyerahkan barang.

c. Perjanjian sewa menyewa
Perjanjian dimana pihak pertama (yang menyewakan)memberikan ijin dalam waktu tertentu kepada pihak lain (si penyewa) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban si penyewa untuk membayar uang sewaannya.

d. Pinjam Pakai
Pihak pertama (yang meminjamkan) memberikan sesuatu benda untuk dipakai, sedangkan pihak lain(peminjam) berkewajiban mengembalikan barang tersebut tepat pada waktunya dan dalam keadaan semula.

e. Pinjam pakai sampai habis=pinjam mengganti
Suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang meminjamkan) menyerahkan sejumlah barang yang habis dipakai pada pihak lain (si peminjam) dengan ketentuan pihak terakhir ini (si peminjam) akam mengembalikan sebanyak jumlah yang sama jenisnya dengan barang-barang yang telah dipinjamnya.

f. Perjanjian penitipan
Suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang menitipkan) menyerahkan sesuatu barang untuk dititipkan dan pihak lain (yang dititipi) berkewajiban menyimpan barang tersebut dab mengembalikannya pada waktunya dalam keadaan semula.

g. Perjanjian kerja
Suatu perjanjian dimana pihak pertama (buruh,pekerja) akan memberikan sesuatu pekerjaan bagi pihak lain (majikan) dengan menerima upah yang telah ditentukan.

h. Perserikatan
Suatu perjanjian antara dua orang/ lebih yang mengikatkan diri masing-masing untuk mengumpulkan sesuatu (harta/tenaga) dengan maksud membagi-bagi keuntungan yang diperolehnya.

i. Pemberian beban
Suatu perjanjian dimana seseorang memberikan sesuatu guna kepentingan atas nama si pemberi beban.

j. Pemberian hadiah
Suatu perjanjian dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima pemberian kebaikan itu.

k. Pertanggungan
Suatu perjanjian dimana seseorang (si penanggung) wajib memenuhi perikatan seorang debitur kepada kreditur, apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya.

l. Penarikan perkara
Suatu perjanjian dimana pihak-pihak akan menyelesaikan atau memecahkan perkara-perkara tentang penyerahan, janji, atau pengembalian suatu barang yang menjadi persengketaan.

Agar suatu perjanjian dianggap sah, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Ijin kedua belah pihak berdasarkan persetujuan kehendak masing-masing, artinya pada waktu perjanjian itu diadakan tidak terdapat paksaan, penipuan, atau kekeliruan.

b. Kedua belah pihak ahrus cakap bertindak.

c. Ada obyek tertentu, jumlah, jenis, dan bentuk yang diperjanjikan sudah tertentu.

d. Ada sebab yang diperbolehkan, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan-peraturan, bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum.

2. Hukum Perikatan yang Bersumber Pada Undang-Undang

Perundangan-undangan juga menjadi sumber perikatan. Oleh karena itu dapat terbagi menjadi 2, yaitu :

a. Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri
Karena suatu keadaan telah ditentukan oleh peraturan perundangan, maka timbulah suatu perikatan, seperti timbulnya hak dan kewajiban antara dua pemilik perkarangan yang berdekatan.

b. Perikatan yang terjadi karena undang-undang disertai tindakan manusia

b.1 Tindakan menurut hukum/ hakiki
Perbuatan manusia berdasarkan haknyanya, seperti seseorang yang atas kerelaannya sendiri mengurus urusan orang lain maka timbullah perikatan terhadap orang itu, seseorang yang dengan niat baik membayar hutang yang sebenarnya tidak ada, maka timbullah ikatan terhadap yang menerima uang untuk menyerahkan kembali dan orang yang telah membayarkan berhak menagih kembali.

b.2 Tindakan melanggar hukum


2.2 Perbuatan Melawan Hukum

2.2.1 Pengertian

Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “tiap perbuatan melanggar, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” pada dasarnya tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum sehingga pengertian tesebut diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi.

Pada awalnya, perbuatan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata mengandung pengertian yang sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum orang tersebut yang timbul dari undang-undang. (Moegini,1979: 21)

Berdasarkan (Rosa Agustina, 2003: 5) dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad).



2.2.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Pengertian perbuatan hukum yang menjadi semakin luas tersebut menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam (Rosa Agustina, 2003: 53-56) mengandung lima unsur yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum, yakni:

1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat.

2. Perbuatan itu harus melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar:

a. Hak subyektif orang lain
Melanggar hak subyektif orang lain berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Hak-hak subyektif yang diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi atau perorangan (persoonlijkheidsrecthen) dan hak-hak kekayaan (vermogensrechten). Hak pribadi contohnya adalah kebebasan, kehormatan, nama baik, dan lain-lain. Sementara hak kekayaan contohnya adalah hak kebendaan dan hak mutlak lainnnya

b. Kewajiban hukum si pelaku
kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam arti ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan, dan pengrusakan)

c. Kaedah kesusilaan
Kaedah kesusilaan ini mencakup norma-norma kesusilaan sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturan hukum tidak tertulis.

d. Kepatutan dalam masyarakat
Dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak.

3. Ada kerugian
Kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian kekayaan atau kerugian bersifat idiil. Kerugian selalu memperkirakan kerugian atas kekayaan yang berupa kerugian uang. Sementara kerugian idiil atau moril meliputi ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup.

Bentuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal oleh hukum adalah sebagai berikut (Munir Fuaddy, 2002: 134-135) :

a. Ganti rugi nominal
Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang mengandung unsur kesengjaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut. Inilah yang disebut sebagai ganti rugi nominal.

b. Ganti rugi kompensasi
Ganti rugi kompensasi merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum.

c. Ganti rugi penghukuman
Ganti rugi penghukuman meruapkan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian.
Hubungan kausal adalah untuk meneliti adakah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat dimintakan pertanggunjawaban

5. Ada kesalahan (schuld).
Kesalahan mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas bila terdapat kealpaan dan kesangajaan; sementara kesalahan dalam arti sempit hanya berupa kesengajaan.



BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN



3.1 Kronologi kasus

David M.L.Tobing,S.H., M.Kn. bersama dengan rekannya pergi ke Plaza Senayan yang beralamat di Jalan Asia Afrika, Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 16 Juni 2003, pada pukul 20.12 WIB dengan mengendarai mobil Kijang berwarna Hitam dengan nomor polisi B 7331 NW. Kemudian David mengendarai mobilnya masuk ke pelataran parkir Plaza Senayan yang telah disediakan untuk para pengunjung Plaza Senayan dengan mengambil tiket masuk terlebih dahulu pada mesin parkir di pintu masuk pelataran parkir.

Setelah menyelesaikan keperluannya, David bersama rekannya bergegas kembali ke mobil yang berada di parkiran dan langsung menuju pintu keluar area parkir Plaza Senayan. Betapa terkejutnya David, bahwa ternyata ia harus membayar tiket parkir lebih mahal dari biasanya. Dari tiket yang ia terima terlihat bahwa ia telah memarkirkan kendaraannya di area parkir yang dikelola oleh PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) tersebut selama 1 jam dan 31 menit, tetapi David diharuskan membayar Rp. 3.000. David pun menanyakan hal tersebut kepada pegawai yang berjaga di pintu keluar parkiran tersebut, namun pegawai mengatakan bahwa kenaikan tarif parkir telah diberlakukan sejak awal bulan Juni 2003.

Berdasarkan pengetahuan David, areal parkir di Plaza Senayan yang dimana dikelola oleh PT Secure Parking seharusnya memungut tarif Rp. 1.000/ jam pertama dan pada jam berikutnya dikenai tarif Rp. 1.000 sehingga David merasa bahwa dirinya cukup membayar Rp. 2.000.

Kemudian kasus ini pun bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dari ketiga proses pengadilan tersebut, pihak David memenangkan perkara tersebut.


3.2 Analisis

Setelah mengetahui kronologi kasus perseteruan antara David M. L. Tobing, S.H., M.Kn., dengan pihak PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku pengelola parkir, maka kasus ini dapat dianalisis sebagai berikut :

3.2.1 Hubungan Hukum Perparkiran

Berkaitan dengan kasus ini, maka dasar hukum yang berlaku adalah sebagai berikut :

Hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pengelola parkir dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (Sibarani,2007:18-30) :

1. Hubungan penitipan barang
Seseorang menerima sesuatu barang dari seseorang, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.

2. Hubungan sewa menyewa
Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

3. Hubungan sewa menyewa tidak murni
Sewa menyewa yang apabila terjadi kehilangan atau kerugian atas kendaraan dilahan yang disewa, maka penyewa masih mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyewakan lahan karena walaupun lahan parkir telah disewakan kepada konsumen, namun penguasaan lahan parkir tetap pada pihak yang menyewakan (pengelola parkir).

Hal lain yang menyebabkan sewa menyewa tidak murni dalam perparkiran adalah si penyewa(pemilik mobil), tidak bisa bebas mempergunakan lahan yang disewanya seperti harus masuk dan keluar dari pintu tertentu, tidak boleh parkir serong, dan peraturan lainnya.

Di Jakarta permohonan izin untuk menyelenggarakan perparkiran diajukan kepada Badan Pengelola Perparkiran DKI Jakarta. Biasanya yang sering dikelola oleh pihak lain (swasta), adalah parkir di luar badan jalan (off street). Berkaitan kasus ini, jenis parkir yang dilakukan oleh pihak David di are parkir Plaza Senayan adalah jenis parkir offstreet.

Jenis parkir offstreet ini meliputi (Sibarani,2007:17):

1. Gedung parkir murni, yaitu suatu bangunan yang digunakan khusus sebagai tempat parkir yang berdiri sendiri.

2. Gedung parkir pendukung, yaitu suatu bagian dari bangunan atau kumpulan bangunan yang digunakan sebagai tempat parkir yang bersifat penunjang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pokok bangunan atau kumpulan bangunan tersebut.

3. Pelataran parkir adalah suatu areal tanah tertentu di luar badan jalan yang digunakan sebagai tempat parkir.
Untuk menentukan tarif parkir yang diterapkan oleh pengelola parkir, hal tersebut sudah ada ketentuan dari Pemerintah Daerah. Oleh karena itu bagi pengelola parkir, dalam hal ini PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) pun harus menaati peraturan pemerintah daerah tersebut.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1698 tahun 1999 tentang Biaya Parkir Pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Untuk Umum Di Luar badan Jalan di Wilayah DKI Jakarta tanggal 1 Juni 1999 (selanjutnya disebut SK Gubernur tahun 1999) yang menjelaskan bahwa :

“Untuk hotel dan pusat perbelanjaan tarif parkir ditetapkan Rp. 1.000,- untuk jam pertama dan tambahan Rp. 1.000,- untuk tiap jam berikutnya.”

Selain itu untuk mempertegas mengenai pengaturan tarif parkir yang dilakukan oleh Pemerintah daerah, maka berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran (selanjutnya disebut Perda Parkir) terdapat larangan untuk merubah tarif biaya parkir yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah. Adapun hal itu diatur dalam Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi :

“Dilarang dengan cara dan bentuk apapun membangun gedung parkir atau pelataran parkir, melakukan usaha penyelenggaraan perparkiran, melakukan perubahan terhadap rambu, marka parkir, mesin parkir, tanda masuk parkir, tanda biaya parkir, tanda retribusi parkir, tarif biaya parkir dan tarif retribusi parkir tanpa memperoleh ijin dari Gubernur Kepala Daerah.”

3.2.2 Berdasarkan Teori Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan keterangan dari hasil putusan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Minutes of Meeting FKPPS tidak bisa mengikat untuk umum termasuk Penggugat (David) karena yang mengikat umum hanyalah produk yang dikeluarkan oleh Pemerintah, yaitu SK Gubernur DKI Jakarta, oleh karena itu Secure Parking harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Oleh karena itu kasus kenaikan tarif parkir yang dilakukan PT Secure Parking merupakan perbuatan melawan hukum karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan suatu aturan hukum pada umumnya.
Setelah mengetahui dasar hukum yang berlaku dalam kasus perparkiran tersebut, maka tindakan penarikan tarif parkir secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) merupakan perbuatan melawan hukum karena telah menerapkan tarif parkir, yang berlawanan dengan ketentuan peraturan daerah DKI Jakarta. Perbuatan melawan hukum ini juga ditunjukkan dengan perbuatan yang dilakukan PT Secure Parking tidak sesuai dengan UU yang berlaku (melanggar), yaitu UU no.5 tahun 1999 tentang perparkiran.

2. Adanya kesalahan yang dilakukan pelaku (PT Secure Parking)
Adanya kenaikan tarif secara sepihak yang dilakukan oleh PT Secure Parking, yang dimana tidak sesuai dengan peraturan pemerintah DKI Jakarta. Tarif parkir yang seharusnya diterapkan adalah Rp. 1.000,- untuk jam pertama dan tambahan Rp. 1.000,- untuk tiap jam berikutnya.(sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1698 tahun 1999 tentang Biaya Parkir Pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Untuk Umum Di Luar badan Jalan di Wilayah DKI Jakarta tanggal 1 Juni 1999). Tapi pada kenyataannya, tarif parkir yang diberlakukan PT Secure Parking adalah RP1.500/jam.

3. Adanya kerugian yang timbul
Dengan adanya kenaikan tarif parkir secara sepihak tersebut, maka pihak David merasa dirugikan. Seharusnya dirinya hanya membayar tarif parkir sebesar Rp.2.000. (namun pihak pengelola parkir meminta untuk membayar sebesar Rp. 3.000). Dalam hal ini David dirugikan oleh pihak pengelola parkir karena harus menambah uang sebesar Rp. 1.00 untuk membayar tarif parkir tersebut.

Pengajuan gugatan David atas dasar tuduhan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Secure Parking sudah tepat, sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata menamakan kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum sebagai “scade” (rugi).

Dicantumkannya syarat kesalahan dalam pasal 1365 KUHPerdata, pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya, dalam hal ini adalah PT secure Parking.

Oleh karena itu, PT Secure Parking digugat untuk membayar ganti rugi atas kelebihan tarif parkir yang telah diterapkan pada David, yaitu mengembalikan sebesar Rp. 1.000. Ganti rugi tersebut merupakan perwujudan Ganti rugi kompensasi, yang merupakan ganti rugi yang dilakukan sebagai pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum.




BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan

Berdasarkan studi kasus perseteruan antara David M.L.Tobing,S.H., M.Kn. dengan pihak PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) berkaitan dengan kenaikan tarif parkir secara sepihak, maka kasus menaikan tarif parkir secara sepihak tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang melekat pada kasus tersebut, seperti pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan suatu aturan hukum pada umumnya, kesalahan yang dilakukan pelaku , dan kerugian yang timbul.
Pihak PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) telah dinyatakan bersalah dalam persidangan di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung. PT Secure parking telah melawan hukum karena menaikkan tarif parkir tanpa seijin Gubernur Kepala Daerah (SK Gubernur DKI Jakarta no. 1698 Tahun 1999 dan telah melanggar Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 tentang perparkiran).

Dengan adanya keputusan dalam penagdilan tersebut, maka pihak PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) selaku tergugat dituntut mengganti kerugian sebesar Rp. 1000 kepada David M.L.Tobing,S.H., M.Kn, sebagaimana yang dituntut oleh pihak penggugat. Hal tersebut sesuai dengan KUHPerdata pasal 1365 mengenai perbuatan melawan hukum, bahwa ”setiap tindakan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada orang lain, maka orang yang bersalah menyebabkan kerugian itu wajib memberi ganti kerugian”.

4.2 Saran

Setelah melihat adanya kasus menaikkan tarif parkir secara sepihak ini, penyedia jasa perparkiran sudah sepatutnya menyediakan jasa parkir sesuai dengan tarif yang telah ditentukan, tentunya tarif parkir yang berlaku haruslah sesuai dengan Perda setempat. Dengan begitu, masyarakat sebagai pengguna jasa perparkiran tidak merasa dirugikan sehingga dapat diperlakukan secara adil sebagaimana mestinya.





DAFTAR PUSTAKA


Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet-1. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2003.

Darus, Mariam, dkk . Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2001.

Djamali, R.Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.

Fuaddy, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2002.

Moegini Djojodirdjo, M.A. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita. 1979.

Sibarani, Ezra L. Parkir+ Perlindungan Hukum Konsumen. Jakarta: Timpani Publishing.2007.

Suryodiningrat, R.M. Azas-azas Hukum Perikatan, edisi ke-2. Bandung: Penerbit
Tarsito. 1985.

Tomasouw, M.A. Study Guide Indonesian Legal System. Jakarta: STIKOM London
School of Public Relations Jakarta. 2005.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2008.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16732
/lagi-ma-menangkan-konsumen-
parkir

1 comments:

maap mbak, apakah anda memliliki referensi buku mengenai parkir?
sebab saya ada tugas akhir mengenai parkir dengan judul aspek hukum penggunaan lahan sebagai tempat parkir,
mohon bantuannya.. :D

 

Posting Komentar