Blog of Marsela Giovani

Here This,Simple But Meaningful..

Tampilkan postingan dengan label Sosiology. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosiology. Tampilkan semua postingan

Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia


PRTA atau yang akrab dikenal dengan pekerja rumah tangga anak. Fenomena pekerja rumah tangga anak sudah tidak asing lagi di negara kita ini. Banyak anak-anak di bawah umur yang telah terjun menjadi PRTA. Fenomena ini menarik untuk dibahas karena banyaknya dampak negatif dari keberadaan PRTA ini. Berikut ini adalah sebuah makalah Sosiologi yang membahas mengenai masalah keberadaan PRTA di Indonesia.


BAB I


PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Konon pekerja rumah tangga telah ada sejak lama, diperkirakan ada sejak zaman kerajaan, penjajahan, begitu pula sesudah Indonesia merdeka. Saat ini, pekerjaan rumah tangga telah berkembang dan mengalami perubahan orientasi dari hubungan kekerabatan menjadi hubungan pekerjaan. Jenis pekerjaan ini tidak saja menyerap pekerja dewasa, namun juga menarik anak-anak untuk memasuki pekerjaan sektor informal ini.

Dalam Konvensi ILO Nomor 138 membahas mengenai batas usia minimun anak diperbolehkan bekerja dan rekomendasi No. 146 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 telah mendeklarasikan bahwa “batas usia minimum anak diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun” dan “pekerjaan apapun yang membahayakan anak-anak secara fisik, mental atau kesehatan atau moral anak tidak boleh dilakukan oleh mereka yang berusia dibawah 18 tahun”. Ketetapan usia minimum ini tentunya juga menjadi acuan bagi anak yang bekerja pada sektor pekerjaan rumah tangga. Namun persoalan ekonomi yang masih mendera bangsa ini mengakibatkan anak-anak terpaksa bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak (PRTA).

PRTA biasanya melakukan pekerjaan sebagi tukang cuci, mengasuh anak, pemasak, dan membersihkan rumah. Mereka berasal dari pedesaan, dari keluarga miskin, berpendidikan rendah dan sebagai besar adalah kaum perempuan. Keberadaanya di tempat kerja, tanpa perlindungan hukum, tanpa pengawasan pihak berwenang, tanpa ikatan kontrak kerja, tanpa uraian pekerjaan, tanpa aturan jam kerja, tanpa upah minimum, serta tanpa hari libur. Hal ini menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi anak yang bekerja sebagai PRTA, yang semestinya dapat tumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan, namun harus terjebak pada pekerjaan yang belum memiliki rambu-rambu hukum dan standar ketenagakerjaan. Ini berarti PRTA berada pada situasi dan kondisi rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.

Setelah melihat fakta yang ada, tidak sewajarnya anak-anak yang berusia di bawah umur (usia di bawah 18 tahun) untuk bekerja. Namun kasus pekerja rumah tangga anak yang muncul di berbagai daerah negara ini masih kerap terjadi. Oleh karena itu, kami merasa tertarik untuk membahasnya di dalam makalah ini.


1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang kami gunakan dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Apa pengertian dari pekerja rumah tangga anak?
b. Bagaimanakah kondisi pekerja rumah tangga anak di Indonesia?
c. Apa faktor penyebab munculnya pekerja rumah tangga anak?
d. Apa dampak negatif dari adanya pekerja rumah tangga anak?
e. Bagaimanakah keterkaitan undang-undang terhadap pekerja rumah tangga anak ?


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan kelompok kami dalam melakukan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

- Untuk mengetahui mengenai realita pekerja rumah tangga anak di Indonesia.
- Untuk memenuhi salah satu nilai mata kuliah Introduction to Sociology.
- Mendapatkan pengetahuan mengenai faktor serta akibat dari adanya pekerja anak.
- Mengetahui undang-undang yang berkaitan terhadap pekerja rumah tangga anak di
Indonesia




BAB II

PEKERJA RUMAH TANGGA ANAK (PRTA) di INDONESIA



2.1 Pengertian pekerja rumah tangga anak

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), Hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya karena tidak menjamin masa depan anak tersebut.


Sedangkan, pekerja rumah tangga anak (PRTA) adalah setiap laki-laki dan perempuan yang umurnya dibawah 18 tahun masih disebut anak atau belum dewasa dan bekerja di dalam wilayah rumah tangga tertentu dengan imbalan upah atau bentuk lainnya. (sumber :www.lbh.or.id)


2.2 Kondisi pekerja rumah tangga anak (PRTA) di Indonesia

Keberadaan PRTA ini mudah ditemukan di hampir setiap rumah tangga kelas menengah di perkotaan. Pada umumnya tingkat pendidikan PRTA hanya sampai SD dan jarang sekali ditemukan mengkombinasikan sekolah sambil bekerja atau sampai lulus SMA. Anak-anak ini direkrut dari kampung atau desa di luar kota, berasal dari keluarga miskin, oleh penyalur atau kerabat dekat atau yang dikenalnya ditempatkan pada majikan (pengguna). Dalam pekerjaannya, PRTA memperoleh tugas mengerjakan pekerjaan rumahan (domestik) seperti mencuci, mengasuh anak, memasak, dan membersihkan rumah, dll.

Perekrutan PRT, termasuk PRTA dilakukan melalui 2 jalur, yaitu Jalur Agen/Yayasan dan Jalur Informal (saudara, tukang sayur, tukang jamu, dll). Jalur Agen memiliki pola kerja yaitu penyalur menawarkan pekerjaan ke PRT/PRTA di desa-desa. Setelah mendapatkan PRT/PRTA, kemudian diajak ke kota, misal Jakarta. Semestinya calon PRT/PRTA mengikuti pelatihan dulu, namun umumnya mereka langsung ditempatkan pada majikan. PRT/PRTA bekerja sesuai dengan kontrak yang dibuat, biasanya berlaku kontrak antara majikan, PRT, dan penyalur. Jika PRT atau majikan tidak saling cocok, PRT atau Majikan dapat meminta penyalur untuk menggantikan dengan PRT pengganti.

Sedangkan Jalur Informal, diawali dengan permintaan dari majikan untuk dicarikan pembantu/ pekerja. Pihak perantara mencarikan PRT/ PRTA ke kampung asal atau menghubungi saudara di kampung untuk dicarikan PRT/PRTA. Setelah sampai di Kota, langsung ditempatkan pada majikan. Jika PRT/PRTA merasakan dapat nyaman bekerja, maka dia akan bekerja dalam waktu lama. Namun jika tidak merasa nyaman, maka PRT/PRTA tersebut akan kembali pulang kampung atau kembali pada perantara atau mencari majikan baru.

Menurut survey ILO tahun 2005 terdapat 688.132 PRTA atau 34,82% dari total PRT, yaitu sebanyak 2.593.399 jiwa PRT yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar PRTA bekerja 7 hari dalam seminggu, dalam jam kerja yang jauh lebih panjang dari pekerja di sektor mana pun. Sepanjang tahun 2003 terdapat 17 kasus kekerasan atas PRTA, hampir 80%mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak.

Anak-anak yang bekerja sebagai PRT rata-rata berpendidikan rendah (SD atau SMP). Dari data International Labour Organization, International Programme on the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), tahun 2005, terdapat 53% PRT di Indonesia yang berusia antara 12-18 tahun tidak pernah bersekolah atau tidak lulus sekolah dasar. Dan 47% yang berpendidikan SMP dan SMA (lulus dan tidak lulus).


2.3 Faktor penyebab munculnya pekerja anak

Beberapa faktor penyebab munculnya pekerja anak adalah sebagai berikut :

1. Adanya persepsi orang tua dan masyarakat
Bahwa anak bekerja tidak buruk dan merupakan bagian dari sosialisasi dan tanggung jawab anak untuk membantu pendapatan keluarga.


2. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua mengirimkan anak-anaknya untuk bekerja di kota. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) merekrut anak-anak desa untuk bekerja di kota. Keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa miskin yang penduduknya tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Para agen berusaha mempengaruhi keluarga untuk mengirimkan anak-anak ke kota bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak. Biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain ditanggung oleh agen. Orang tua PRTA biasanya senang mengirimkan anak-anaknya dan mereka percaya anaknya akan mendapat pekerjaan dan majikan yang baik. Sehingga orang tua berharap, anaknya dapat mengirimkan uang ke kampung.

3. Setiap tahun terdapat jutaan anak di Indonesia usia 15-18 tahun yang telah menamatkan SLTP, tetapi tidak dapat melanjutkan atau tidak tertampung di SMU, serta anak-anak yang putus sekolah di SLTP telah membanjiri angkatan kerja. Pekerjaan rumah tangga merupakan salah satu sektor pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan dan keahlian yang tinggi, pekerjaan ini dapat menampung dan menyerap mereka dalam jumlah besar.

4. Lemah sistem hukum dan penegakan hukum
Selain belum adanya undang-undang yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum, lemahnya hukum dan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran mempekerjakan anak, menjadikan anak sebagai target para agen, penyalur, dan majikan untuk direkrut sebagai pekerja, khususnya pekerja rumah tangga anak.

5. Banyak pengguna jasa (majikan) yang lebih suka mempekerjakan anak-anak
alasannya adalah anak lebih mudah diatur, tidak melawan, apa adanya, tidak ada cuti hamil, cuti melahirkan, mudah dibohongi dan ditipu serta bayaranya lebih murah dibandingkan dengan PRT dewasa.


2.4 Dampak negatif yang dapat dialami pekerja rumah tangga anak (PRTA)

Pekerja rumah tangga anak rentan mengalami tekanan serta perilaku tidak adil dari majikannya. Hal itu dikarenakan pekerja rumah tangga anak yang pada umumnya masih muda dan dianggap masih lugu. Beberapa hal yang rentan dialami oleh pekerja rumah tangga anak adalah sebagai berikut :

a. Eksploitasi: dipekerjakan dengan waktu kerja yang tidak jelas dan sangat panjang dengan pemberikan upah yang tidak sesuai; atau tidak diberikan upah dan juga tidak diberi hari libur. Biasanya kerja paksa sering terjadi ketika anak sudah berada di tempat kerja, dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan itu meskipun mereka tidak menyukai. Sebagai contoh, misalnya melakukan semua atau sebagian pekerjaan tetapi tidak ada imbalan gaji, jam kerja melebihi 8 jam sehari. Pada umumnya PRTA hanya diam saja, menerima, takut karena mendapat diancam.

b. Kekerasan meliputi:
- Fisik, seperti pemukulan, penganiyaan, disiram air panas, disterika, disundut
rokok, dicambuk dan lain-lain

- Psikis, seperti dimaki, dicela, diberikan panggilan yang tidak baik berupa
hinaan fisik atau direndahkan;

- Ekonomi, seperti pemberian upah tidak sesuai dengan perjanjian kerja atau
ditangguhkan dengan alasan pengguna jasa tidak ada uang bahkan upah tidak
dibayar.

- Seksual, seperti dirayu, dipegang, dipaksa oral seks, pelecehan seksual,sampai
upaya perkosaan.

c. Kurangnya kesempatan bermain
Anak – anak yang sudah bekerja sebagai PRTA sulit bahkan tidak mungkin untuk bermain dengan teman-temannya. Mereka dapat bermain bila ke pasar atau mengasuh anak majikan atau bertemu dengan temannya.

d. Terhambatnya tumbuh kembang dan akses kesehatan
Masa anak-anak adalah masa tumbuh kembang yang harus mendapatkan pemenuhan gizi yang cukup, berinteraksi, aktualisasi diri dengan lingkungan dan bila sakit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Namun hal ini sulit dipenuhi, sehingga kondisi kesehatannya kurang terperhatikan.

e. Kurangnya Istirahat dan rekreasi
PRTA jarang mendapatkan istirahat yang cukup. Mereka bekerja rata-rata hampir 18 jam setiap hari, tanpa hari libur, dan cuti. PRTA dapat beristirahat tidur atau nonton TV dan melakukan rekreasi, jika majikan pergi keluar rumah.

f. Masa depan yang kurang pasti
Hak–hak PRTA yang terabaikan dan tidak terpenuhi, berdampak pada PRTA tidak dapat tumbuh kembang dengan baik dan wajar. Ini berakibat pada masa depan dan cita-cita mereka tidak dapat terwujud.


2.5 Peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan terhadap PRTA (pekerja rumah tangga anak)


Walaupun di Indonesia belum ada undang-undang yang secara khusus membahas mengenai PRTA, namun ada beberapa peraturan dan undang-undang yang dapat memberikan perlindungan mengenai keberadaan pekerja rumah tangga anak, di antaranya adalah sebagai berikut :

A. UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
secara tegas memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan perdagangan anak.

1. {pasal 9 (1)} Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
2. (pasal 11) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
3. (Pasal 12) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
4. {pasal 16 (1)} Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
5. {pasal 17 (1)} Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
- mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penenpatannya dipisahkan dari orang dewasa
- memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
- membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
6. (pasal 20) Negara, pemerintah, masyarkat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
7. (pasal 21) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan atau mental.



B. UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Mengatur mengenai hak-hak (seperti upah/ gaji) seseorang yang bekerja sebagai tenaga kerja


C. UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 182
Pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
“segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata”.


2.6 Hasil observasi

Berikut ini adalah hasil wawancara kelompok kami kepada beberapa pekerja rumah tangga dan majikan :

• Ana (13), pekerja rumah tangga anak di Jakarta

T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : Pernah,lulus SD aja trus langsung kerja.
T : Apa alasan kamu bekerja ?
J : Ingin cari uang buat bantu orang tua membangun rumah, trus mau ke
jakarta cari pengalaman.
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : kasih2 aja sih, lagian orangtua juga merasa lebih ringan bebannya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Baru 2 minggu kerja disini sebelumnya pernah kerja dikampung, jagain
anak-anak, disini saya merawat anak,menyuci,menggosok trus
membantu memasak.
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : Baik-baik saja, soalnya masih diajar-ajarin khan saya masih baru di sini.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk
bekerja ?
J : Saya tidak tahu.

• Enah (14 tahun), pekerja rumah tangga anak di Tangerang

T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : pernah sampai kelas 3 SD saja
T : Apa alasan kamu bekerja ?
J : mau membantu orangtua mencari uang
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : setuju sekali, karena adik saya masih kecil-kecil dan butuh biaya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Sudah 1 tahun lebih. Saya biasa mencuci, menggosok, menyapu,
mengepel, bantu masak, belanja, ya..intinya bersih-bersih rumah
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : ya...namanya majikan kadang suka ngomel tapi ada baiknya
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk
bekerja ?
J : tidak tahu.

• Frida (52 tahun), majikan

T : Mengapa anda memilih anak berumur belasan untuk bekerja ?
J : karena lebih mudah diatur untuk disuruh-suruh, lebih polos juga kaga macem-
macem
T : Bagaimana anda dapat memperkerjakan anak tersebut menjadi PRT ?
J : pembantu saudara saya yang menawarkan anak itu untuk bekerja.
T : Adakah perlakuan khusus terhadap pembantu anda (PRTA)?
J : Biasa saja sih, sama kaya pembantu sebelumnya.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : tidak tahu.


2.7 Contoh kasus

PRT ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor, Warta Kota

Seorang pembantu rumah tangga (PRT), Ratna Maryati (13), melarikan diri dari rumah majikannya di Kampung Ciheuleut RT 06/08, Baranangsiang, Bogor Timur, setelah disiksa di kamar mandi. Anak baru gede (ABG) itu kemudian diselamatkan para tetangga, sedangkan majikannya, Rosyati alias Iyet ditangkap polisi, Jumat (24/2).
Penyiksaan yang dilakukan Iyet terhadap Ratna, kemarin, adalah untuk kesekian kalinya. Selama 7 bulan bekerja, sudah tak terhitung lagi siksaan yang diterima Ratna. Perempuan bertubuh mungil itu pernah dipukuli dengan wajan, dihajar dengan gayung, hingga disundut rokok.

Penyiksaan terakhir terjadi kemarin. Ketika itu, ada seseorang yang ingin membeli es batu, lalu dia mengambilkannya di lemari es. Karena kesulitan mengambil, Ratna berupaya dengan mencongkelnya menggunakan obeng. Ternyata upaya itu mengakibatkan goresan di bagian pendingin lemari es.
Mengetahui hal itu, Iyet murka. Saat itu juga sang majikan menyeret Ratna ke kamar mandi. Di sana ia menghantam kepala Ratna dengan gayung berkali-kali. Belum puas melampiaskan emosinya, Iyet lalu menyiram tubuh gadis ABG tersebut dengan air bak mandi. Tak hanya itu. Ratna juga didorong hingga jatuh terlungkup di kloset duduk. Tanpa ampun, kepala Ratna dibenamkan ke lubang kloset sambil dipukuli tubuhnya.

Setelah puas, Iyet meninggalkan Ratna di kamar mandi. Ia membiarkan pembantunya menangis meraung-meraung sambil menahan sakit. Saat sang majikan naik ke lantai dua rumahnya, Ratna pun kabur dan melaporkannya ke warga Kampung Ciheuleut.
Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi. Tetapi niat itu dibatalkan. Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat strategi untuk menangkap Iyet.

Seorang tetangga Iyet yaitu Suciwati melaporkan peristiwa tragis itu ke Mapolsekta Bogor Timur, Jalan Pajajaran. Tidak lama kemudian polisi datang ke lokasi dan menangkap Iyet. Bersama Ratna, ia dibawa ke Mapolresta Bogor, Jalan Kedunghalang, Bogor Utara.



BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Idealnya perkerja rumah tangga anak (PRTA) tidak pernah ada, karena mereka tidak layak bekerja untuk mencari nafkah. Seharusnya mereka sedang menikmati masa pendidikan yang dibiayai oleh negara. Hal ini dapat dilihat pada UUD 1945 UUD 1945 Pasal 34 ayat(1) berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara”. Anak-anak yang berumur di bawah 18 tahun, tidak diperbolehkan untuk bekerja karena sebelum menginjak umur tersebut, seorang anak masih dalam tahap perkembangan. Namun, karena banyaknya faktor yang mengakibatkan anak-anak di Indonesia terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Faktor ekonomi yang menjadi alasan utama mengapa PRTA bermunculan di Indonesia. Banyak akibat negatif dari adanya PRTA ini, yang utama adalah adanya kekerasan serta eksploitasi terhadap anak. Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki hukum yang mengatur keberadaan PRTA secara khusus.


3.2 Saran

Negara/ pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap anak dapat sekolah dan tidak bekerja. Tetapi, sampai saat ini keberadaan mereka belum diatur secara khusus oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah dengan segera memberikan perlindungan khusus kepada PRTA agar hak-haknya dapat lebih terlindungi. Sedangkan bagi majikan yang memperkerjakan PRTA, sehubungan dengan sifat anak yang masih memerlukan perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Anak yang menjadi miliknya, maka jika dirasa tidak akan mampu melindungi dan memenuhi Hak-Hak Anak yang menjadi PRT sebaiknya tidak perlu mempekerjakan seorang anak menjadi PRT.

Setiap anggota keluarga dalam rumah tangga yang mempekerjakan anak sebagai pembantu rumah tangga hendaknya berasumsi bukan sebagai pembantu rumah tangga, akan tetapi lebih sebagai anak asuh. Hal ini selain akan menghindari terjadinya tuduhan upaya penghambaan atas anak, juga menghindari eksploitasi terhadap anak. Keadaan PRTA perlu diperhatikan lebih serius karena anak-anak adalah calon penerus generasi bangsa yang dimana keberadaannya perlu dilindungi oleh negara.



DAFTAR PUSTAKA



http://www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/publications/childlabour/200603prtaid.pdf

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/14/humaniora/802345.htm

http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.htm

http://www2.kompas.com/metro/news/0602/25/092923.htm

Lembaga Kemasyarakatan



Berikut ini adalah penjelasan mengenai salah satu teori yang ada di dalam mata kuliah Sosiology, yaitu penjelasan mengenai lembaga kemasyarakatan.
BAB I

PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang

Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing social-institution. Akan tetapi hingga kini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia apa yang dengan tepat dapat menggambarkan isi social-institution tersebut. Ada yang menggunakan istilah pranata-sosial, tetapi social-institution menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat.

Istilah lain yang diusulkan adalah bangunan-sosial yang mungkin merupakan terjemahan dari istilah Soziale-Gebilde (bahasa Jerman), yang lebih jelas menggambarkan bentuk dan susunan social institution tersebut. Di sini akan digunakan istilah lembaga kemasyarakatan, karena pegertian lembaga lebih menunjuk pada sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung pengertian abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Namun di samping itu kadang-kadang juga menggunakan istilah lembaga sosial.

Norma-norma masyarakat dalam masyarakat bertujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Di dalam perkembangan, norma-norma berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan pokok kehidupan manusia. Kebutuhan akan mata pencaharian hidup menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti misalnya pertanian, peternakan, koperasi, industri, dan lain-lain. Kebutuhan akan pendidikan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti misalnya pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi, dan lain sebagainya.

Dari contoh-contoh di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan bersahaja atau modern karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelompokkan, terhimpun menjadi lembaga kemasyarakatan.

Oleh karena itu, lembaga kemasyarakatan perlu diketahui dan dipelajari. Melalui makalah sederhana ini, akan dijelaskan mengenai lembaga kemasyarakatan tersebut.


1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang kami gunakan dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Apa pengertian dari lembaga masyarakatan?
b. Bagaimanakah proses terbentuknya lembaga kemasyarakatan ?
c. Apa ciri-ciri lembaga kemasyarakatan ?
d. Apa fungsi dari lembaga kemasyarakatan ?
e. Apa sajakah tipe lembaga kemasyarakatan ?
f. Apa yang dimaksud dengan lembaga keluarga ?
g. Apa yang dimaksud dengan lembaga pendidikan ?
h. Apa yang dimaksud dengan lembaga agama?
i. Apa yang dimaksud dengan lembaga politik ?
j. Apa yang dimaksud dengan lembaga ekonomi ?


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan kelompok kami dalam melakukan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

- Untuk menambah pengetahuan mengenai cangkupan teori sosiologi.
- Untuk menambah pengetahuan mengenai teori lembaga kemasyarakatan.
- Mendapatkan pengetahuan mengenai keserasian antar norma dari berbagai bidang
kehidupan sehari-hari.
- Dapat mengetahui hubungan antar lembaga kemasyarakatan yang ada.
- Dapat mengetahui tatanan lembaga kemasyarakatan secara keseluruhan.





BAB II

KERANGKA TEORITIS




2.1 Pengertian Lembaga Kemasyarakatan

Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan-himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit lembaga kemasyarakatan tersebut adalah asosiasi. Contoh : Universitas adalah lembaga Kemasyarakatan dalam bidang pendidikan, sedangkan Universitas Komputer Indonesia, Universitas Padjadjaran adalah asosiasi.


2.2 Proses Terbentuknya Lembaga Kemasyarakatan

2.2.1 Norma-norma masyarakat

Supaya hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma, yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.

Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, dikenal adanya empat pengertian, yaitu:

a. Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan, jika dilanggar hukumannya tidak berat, hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Contoh : bertahak.

b. Kebiasaan (folkways) adalah perbuatan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama, bila dilanggar akan dianggap sebagai penyimpangan terhadap kebiasaan umum tersebut. Contoh : memberi hormat terhadap orang yang lebih tua.

c. Tata kelakuan (mores) merupakan kebiasaan yang di anggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. Tata kelakuan sangat penting karena memberikan batas-batas pada perilaku individu dan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya dan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.

d. Adat (customs) adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, maka sanksinya berwujud suatu penderitaan bagi pelanggarnya.

Dalam rangka pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma tersebut mengalami beberapa proses, yaitu:

a. Proses pelembagaan (institutionalization), yakni suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah-satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksudkan ialah, sampai norma-norma kemasyarakatan itu, oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-harinya.

Mengingat adanya proses termaksud di atas, dibedakan antara lembaga kemasyarakatan sebagai peraturan dan yang sungguh-sungguh berlaku. Dianggap peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perilaku orang-orang, misalnya lembaga perkawinan mengatur hubungan antara pria dan wanita. Dianggap sebagai yang sungguh-sungguh berlaku, apabila norma-norma sepenuhnya membantu pelaksanaan pola-pola kemasyarakatan. Suatu norma tertentu dapat dikatakan telah melembaga apabila norma tersebut diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati dan dihargai.

b. Norma-norma yang internalized, artinya adalah bahwa proses norma-norma tersebut kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai pelembagaan saja. Akan tetapi mungkin norma-norma tersebut mendarah-daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.

2.2.2 Sistem pengendalian sosial

Suatu proses agar anggota masyarakat menaati norma-norma yang berlaku. Sistem pengendalian yang merupakan segala sistem maupun proses yang dijalankan oleh masyarakat selalu disesuaikan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Pengendalian sosial dapat bersifat :
a. Preventif/positif adalah suatu usaha pencegahan terhadap terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Usaha perventif, misalnya, dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal.

b. Represif/negatif berwujud penjatuhan sanksi terhadap para warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Alat-alat pengendalian sosial dapat digolongkan ke dalam paling sedikit lima golongan, yaitu:

a. Mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan norma-norma kemasyarakatan.

b. Memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang taat pada norma-norma kemasyarakatan.

c. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat bila mereka menyimpang atau menyeleweng dari norma-norma kemasyarakatan dan nilai-nilai yang berlaku.

d. Menimbulkan rasa takut.

e. Menciptakan sistem hukum, yaitu sistem tata-tertib dengan sanksi yang tegas bagi para pelanggar.


2.3 Ciri-Ciri Lembaga Kemasyarakatan

Menurut Gillin dan Gillin, beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan antara
lain :

1. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat-istiadat, tata-kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.

2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama

3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.

4. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.

5. Lambang-lambang biasanya merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

6. Suatu Lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis atau yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain.


2.4 Fungsi Lembaga Kemasyarakatan

Beberapa fungsi dari lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
2. Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control), artinya, sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.


2.5 Tipe lembaga kemasyarakatan

Dari sudut perkembangannya
a. Crescive Institutions
Lembaga-Lembaga yang secara tidak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Lembaga ini juga disebut sebagai lembaga primer. Contoh : perkawinan, agama, dll.

b. Enacted Institutions
Lembaga yang dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya lembaga utang-piutang, lembaga perdagangan dan lembaga-lembaga pendidikan, yang semuanya berakar pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Pengalaman melaksanakan kebiasaan-kebiasaan tersebut kemudian disistematisasi dan diatur untuk kemudian dituangkan ke dalam lembaga-lembaga yang disahkan oleh negara.

Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat
a. Basic Institutions
Lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, misalnya keluarga, sekolah-sekolah, negara dan lainnya dianggap sebagai basic institutions yang pokok.

b. Subsidiary Institutions
Dianggap kurang penting, seperti misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi.
Ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan suatu lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai basic atau subsidiary, berbeda di masing-masing masyarakat. Ukuran-ukuran tersebut juga tergantung dari masa hidup masyarakat tadi berlangsung. Misalnya sirkus pada zaman Romawi dan Yunani kuno masih dianggap sebagai basic institutions, pada zaman sekarang ini sirkus dianggap sebagai subsidiary institutions.

Dari sudut penerimaan masyarakat
a. Approved-Socially Sanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang diterima masyarakat. Contoh : sekolah, perusahaan dagang, dll.

b. Unsanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang ditolak masyarakat, walau masyarakat kadang-kadang tidak berhasil memberantasnya. Contoh : kelompok penjahat, pemeras, pencoleng, dll.

Dari sudut penyebarannya
a. General Institutions
Misalnya Agama merupakan suatu general institutions, karena dikenal oleh hampir semua masyarakat di dunia.

b. Restricted Institutions
Agama Islam, Protestan, Katolik, Buddha, dan lain-lainnya, merupakan restricted institution, karena dianut oleh masyarakat-masyarakat tertentu di dunia ini.

Dari sudut fungsinya
a. Operative Institutions
Berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan. Contoh : lembaga industrialisasi.

b. Regulative Institutions
Bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri. Contohnya adalah lembaga-lembaga hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.


2.6 Lembaga keluarga

2.6.1 Pengertian Keluarga

Suatu kesatuan kecil dan dasar dalam kelompok sosial di masyarakat, yang memiliki suatu ikatan yang erat, yang didasarkan pada suatu ikatan perkawinan.

2.6.2 Fungsi keluarga

a. Reproduksi
Melalui keluarga aktivitas seksual manusia antara pria dan wanita dapat terlaksana sehingga menghasilkan keturunan.

b. Sosialisasi
Peran institusi keluarga berperan dalam mebentuk kepribadian anak.

c. Ekonomi
Berperan dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan di dalam rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

d. Perlindungan (proteksi)
Setiap anggota anggota keluarga saling melindungi sehingga memperoleh ketentraman lahir dan batin.

e. Afeksi
Melalui keluarga dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang (afeksi) setiap anggota keluarga.


2.6.3 Tipe keluarga

a. Keluarga inti (nuclear family)
Satuan keluarga yang tediri dari suami (ayah), istri (ibu), dan anak.

b. Keluarga meluas (extended family)
satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi (lebih dari satu keluarga inti), misalnya terdiri dari keluarga inti ditambah nenek,kakek, bibi, paman,dsb.

c. Keluarga orientasi (family of orientation)
Keluarga yang di dalamnya seseorang dilahirkan.

d. Keluarga prokreasi (family of procreation)
Keluarga yang dibentuk oleh seseorang dengan jalan melangsungkan
pernikahan.

e. Keluarga konsanguinal
Keluarga yang lebih menekankan pada ikatan darah, seperti hubungan seseorang dengan orang tuanya.

f. Keluarga konjugal
Keluarga yang lebih menekankan hubungan perkawinan daripada hubungan darah. Ikatan suami istri lebih penting dibandingkan dengan orang tua.


2.6.4 Aturan perkawinan

a. Monogami dan poligami

a.1 Monogami : perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.
a.2 Poligami
a.2.1 Poligini : perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita.
a.2.2 Poliandri : perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Contohnya : orang eskimo, suku di Afrika Timur.

b. Patrilineal dan matrilineal

b.1 Patrilineal : (patter=ayah), kekrabatan dengan cara menarik garis keturunan hanya melalui garis ayah. Seseorang hanya memiliki kakek dan nenek dari pihak ayah saja. Contoh terdapat di suku Batak, Maluku, dll.

b.2 Matrilineal : (matter =ibu), kekerabatan dengan cara menarik garis keturunan melalui garis ibu. Seseorang hanya memiliki kakek dan nenek dari pihak ibu. Conto pada suku Minangkabau.

c. Patrilokal dan matrilokal

c.1 Patrilokal : pola setelah menikah dimana keluarga tersebut menetap di lingkungan pihak laki-laki.

c.2 Matrilokal : pola setelah menikah dimana kelurga tersebut menetap di lingkungan pihak wanita.

d. Neolokal
Pola pasangan yang baru menikah, kemudian bebas menetap di luar lingkungan pihak laki-laki ataupun wanita.

2.7 Lembaga pendidikan

2.7.1 Pengertian
Adalah lembaga yang menangani masalah proses sosialisasi yang mengantarkan seseorang kepada suatu kebudayaan. Proses sosialisai sehari-hari dilakukan melalui lembaga tidak resmi seperti keluarga, sedangkan yang resmi melalui lembaga pendidikan formal atau persekolahan.

2.7.2 Fungsi

• Membantu orang untuk mencari nafkah
• Menolong orang untuk mengembangkan potensinya demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan pembangunan masyarakat.
• Mengembangkan kemampuan berpikir dan berbicara.
• Memperkaya pengetahuan.

2.7.3 Faktor-faktor kehidupan yang menuntut pendidikan

a. Meningkatnya kebutuhan hidup manusia
b. Berubahnya dunia pekerjaan
c. Tantangan dalam pertumbuhan ekonomi
2.7.4 Lingkungan pendidikan

Dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lingkungan pendidikan keluarga
Merupakan lingkungan pendidikan informal yang memiliki konsep seumur hidup.

Ciri-ciri:
• Proses berlangsung tanpa terikat oleh waktu dan tempat
• Proses berlangsung tanpa adanya guru dan murid, tetapi berlangsung antara anggota dan keluarga
• Tidak mengenal persyaratan usia
• Tidak menggunakan metode tertentu

b. Lingkungan pendidikan sekolah
Merupakan pusat pendidikan formal yang perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban menjalani tugas pendidikan. Ciri- ciri:

• Kegiatan dilaksanakan di dalam kelas tertutup yang terpisah dari pergaulan masyarakat
• Adanya persyaratan usia dan dielompokan dalam suatu jenjang tertentu
• Adanya perbedaan tugas antara guru dan siswa
• Waktunya diatur dan dirancang
• Memiliki materi pelajaran
• Menggunakan metode yang sistematik

c. Lingkungan pendidikan masyarakat di luar sekolah
Dapat disebut juga sebagai lembaga pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal memberikan pelayanan berupa pendidikan ketrampilan praktis dan sikap mental yang fungsional serta relevan agar mereka mampu meningkatkan mutu dan taraf hidup. Ciri ciri:

• Programnya disesuaikan dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan
• Materi pelajarannya praktis
• Waktu belajar lebih singkat
• Tidak memakan banyak biaya dibanding pendidikan formal


2.8 Lembaga agama

2.8.1 Pengertian

Agama merupakan system keyakinan (religi) dan praktek dalam masyarakat yang telah dirumuskan dan dibekukan serta dianut secara luas.
Menurut Emile Durkheim agama ialah “Suatu system terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan mempersatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas yang dinamakan umat.”

Menurut Keller dan Calhoun, memusatkan perhatian pada unsur-unsur agama :
* Kepercayaan agama – monotheisme, reinkarnasi, roh Shinto
* Simbol agama – Salib, patung Buddha, bulan bintang
* Praktek agama – Do’a, puasa, dan pantang

2.8.2 Fungsi agama

a. Fungsi manifes agama
- pola keyakinan (doktrin) yang menentukan sifat hubungan antara
manusia dengan Tuhannya dan dengan sesama
- ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia dengan
doktrin tersebut
- seperangkat norma perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut

b. Fungsi laten agama
- memberikan tempat untuk mengembangkan pergaulan antar umat.
- mempelajari kepemimpinan, persaudaraan, merencanakan keluarga,
termasuk pemilihan jodoh.

2.8.3 Disfungsi agama

Dalam cakupan ini yang menjadi hal-hal yang bukan fungsi dari agama adalah:
1. pertentangan antar agama
2. perpecahan/konflik dalam masyarakat
3. ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara

2.9 Lembaga Ekonomi

2.9.1 Pengertian

Lembaga ekonomi merupakan lembaga sosial yang menangani masalah kesejahteraan material, yaitu mengatur kegiatan atau cara cara berproduksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa.

2.9.2 Kegiatan pokok dalam ekonomi

A. Produksi

Adalah cara cara menghasilkan barang dan jasa dan berkaitan dengan system mata pencaharian masyarakat. Beberapa kegiatan produksi yang ada di dalam masyarakat antara lain:
1. Berburu dan meramu (hunting dan gathering)
2. Bercocok tanam di ladang
3. Bercocok tanam di sawah
4. Beternak
5. Perikanan
6. Industri

B. Distribusi

Kegiatan distribusi terdiri dari 3 cara, yaitu:
a. Resiprositas (timbal balik), yaitu pertukaran barang dan jasa yang kira kira memiliki sama nilainya. Dibagi lagi menjadi 3 macam, yaitu:
• Resiprositas umum : pertukaran barang dan jasa yang dilakukan dengan menentukan nilai barang yang terlihat pada waktu pertukaran
• Resiprositas berimbang: pertukarang barang yang dilakukan dengan cara menentukan secara pasti nilai barang yang terlihat pada waktu pertukaran.
• Mekanisme pemerataan (leveling mechanism): kewajiban sosial yang memaksa seseorang untuk mendistribusikan barangnya, sehingga tidak ada kemungkinan orang untuk memupuk kekayaannya.

b. Redistribusi, yaitu bentuk pertukaran barang yang masuk ke tempat (pasar, toko) yang kemudian didistribusikan kembali

c. Pertukaran pasar, yaitu pertukaran atau perpindahan barang dari pemilik yang satu ke pemilik yang lain.

C. Konsumsi
Adalah kegiatan masyarakat dalam memakai, memanfaatkan, atau menggunakan barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


2.10 Lembaga Politik

2.10.1 Pengertian

Lembaga sosial yang menangani mengenai pelaksanaan kekuasaan dan wewenang.

2.10.2 Fungsi lembaga politik

a. menghubungkan antara kekuasaan dengan warga masyarakat sehingga keteraturan atau tertib sosial tetap dipelihara
b. lembaga politik menangani masalah administrasi dan tata tertib umum demi tercapainya keamanan dan ketentraman masyarakat


2.10.3 Kekuasaan dan dominasi

a. Dominasi kharismatik
Suatu dominasi yang keabsahannya didasarkan pada kharisma atau kewibawaan seseorang. Seseorang itu menjadi wibawa atau berkharisma karena adanya kepercayaan yang besar bagi para warga masyarakat kepadanya.

b. Dominasi tradisional
Suatu dominasi yang keabsahannya didasarkan pada tradisi. Penguasa dalam dominasi ini cenderung melanjutkan tradisi-tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Jadi, dominasi tradisional diartikan sebagai dominasi yang disebabkan karena adanya warisan dari pemimpin sebelumnya yang bersifat kharismatik

c. Dominasi legal-rasional
Dominasi jenis ini keabsahannya didasarkan pada aturan hukum yang dibuat dengan sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Pemimpin ditunjuk atas dasar aturan hukum yang jelas.



BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Lembaga kemasyarakatan sangat berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Lembaga kemasyarakatan merupakan sistem norma yang bertujuan untuk mengatur tindakan-tindakan atau kegiatan anggota suatu masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Lembaga kemasyarakatan terbentuk melalui proses yang berlawal dari norma-norma yang dianut masyarakat yang melalui proses pelembagaan dan internalisasi serta melibatkan adanya pengendalian sosial dalam masyarakat.

Lembaga kemasyarakat pun memiliki ciri-ciri tertentu berdasarkan dari lembaga yang bersangkutan. Wujud lembaga kemasyarakatan terdiri dari lembaga keluarga, yang merupakan kesatuan sosial yang paling kecil dan mendasar di dalam masyarakat, lembaga pendidikan yang mengatur mengenai proses sosialisasi nilai-nilai dan norma, lembaga agama yang mengatur mengenai kepercayaan anggota masyarakat, lembaga politik yang mengatur mengenai kewenangan dan kekuasaan, dan lembaga ekonomi yang mengatur mengenai kesejahteraan anggota masyarakat.



3.2 Saran

Melalui adanya lembaga kemasyarakatan, diharapkan anggota masyarakat dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada sehingga tercipta keharmonisan dan keteraturan sosial. Sebaiknya, setiap anggota masyarakat mengerti mengenai keberadaan lembaga kemasyarakatan yang ada di dalam kehidupan. Hal itu bertujuan agar fungsi-fungsi dari setiap lembaga kemasyarakatan dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, diharapkan akan tercipta kondisi yang harmonis dan teratur di dalam kehidupan bermasyarakat.


DAFTAR PUSTAKA



Fenandez, Daniel, Nursal Luth. Sosiologi 2 Untuk SMU Kelas 2. Jakarta : PT Galaxy Puspa
Mega, 2000.

Saragih, Herlina JR. Study Guide Introduction to Sociology. Jakarta : STIKOM London
School of Public Relation Jakarta, 2005.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1990.